Head-linenews.com – Salah satu konsekwensi bagi wartawan yang memiliki sikap kritis adalah mereka akan tidak sanggup melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta yang ditemukan dilapangan dikala mereka bekerja.
Mereka akan sangat peka dengan kondisi yang ada di sekitarnya, atau di mana saja mereka berada. Kepekaan itu sebenarnya karena mereka peduli akan segala fenomena dan realitas yang dilihat dan dirasakan itu tidak baik atau tidak seperti yang seharusnya.
Mereka selalu akan mempertanyakan atau mengkritisi fenomena atau realitas itu. Karena seringnya mereka mengkritisi apa yang terjadi melalui karya jurnalistik, muncullah kelompok-kelompok penjilat penguasa dan orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan tersebut.
Penjilat-penjilat itu akan melihat para wartawan yang kritis itu busuk dan seperti lawan yang harus dimusnahkan. Wajar saja, wartawan mengritik sering dianggap nyinyir dan seolah ingin menggembosi elektabikitas dan perilaku bos para penjilat itu.
Lucunya… Mereka-mereka para penjilat ini muncul dengan statement yang sangat menggelikan, menuduh para wartawan yang kritis itu sebagai wartawan atau media yang dibayar, bahkan muncul kalimat media penjilat.
Mereka muncul bak pahlawan kesiangan, yang siap membela dan menegakkan keadilan. Konyolnya, mereka ini tutup mata dengan fakta yang ada dilapangan yang ditemukan atau dimiliki para wartawan kritis saat mereka bekerja.
Sehingga, para penjilat akan menggunakan dan merangkai kata-kata manis mereka agar terlihat menjadi sosok pembela bagi sosok yang notabennya diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi.
Apalagi di kalangan penjilat penguasa, para wartawan pengeritik itu dianggap sebagai duri dalam daging. Tahukan, bagaimana duri dalam daging? Ya, begitulah yang kerap dihadapi para wartawan kritis.
Pemimpin “Ngerapek” Dilingkaran Penjilat
Masih hangat…kejadian yang menimpa H. Marwan mantan Kepala Dinas LHK Bangka Belitung yang ditetapkan Kejati Babel sebagai tersangka bersama 4 orang lainnya dalam kasus penyelewengan lahan negara seluas 1.500 hektar di kotawaringin Kabupaten Bangka,
Marwan dengan lantang menyebutkan nama eks Gubernur Babel periode 2017-2022, sebut saja “Pemimpin Ngerapek”. Marwan dengan tegas menyebutkan bahwa sang ngerapek merupakan orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus yang saat ini dirinya hadapi.
Belum lagi kasus korupsi komuditas Timah yang menyeret 4 Kadis ESDM Babel, yang dimana berdasarkan fakta persidangan nama sang pemimpin ngerapek kembali disebutkan.
Dapat kita bayangkan, jika para penjilat berada dilingkaran pemimpin ngerapek? maka para penjilat seperti yang penulis gambarkan pada awal tulisan ini, akan berupaya menutupi borok yang ada dengan cara bersilat lidah. Cara lainnya, ditutupi dengan menutup mata temuan/pemeriksaan yang terkuak. Akhirnya, satu fakta mereka tutupi dengan dalih menjatuhkan elektabikitas sang pemimpin ngerapek.
Di sisi lain, penegak hukum, dengan dalih menghindari adanya black campaign yang dinilai bisa menjadi hambatan terciptanya Pilkada yang sesuai dengan prinsip serta ketentuan perundang-undangan, mengeluarkan memorandum atau instruksi agar menunda proses hukum yang berkaitan dengan calon kepala daerah 2024.
Seperti yang kita ketahui, bahwa sang pemimpin ngerapek saat ini ikut serta sebagai salah satu calon Gubernur Bangka Belitung 2024-2029. Bisa kita bayangkan, bukan tidak mungkin akan menjadi lebih parah dan berkelanjutan jika sang pemimpin ngerapek kembali menduduki kursi kepemimpinan.
Kita sepakat bahwa penjilat merupakan satu penyakit karakter yang tidak bisa dipegang komitmen yang keluar dari mulut mereka. Karena pada dasarnya, para penjilat ini sebenarnya seperti menepuk air di dulang, pandai merangkai kata, padahal nol isinya.
Dalam tulisan ini, penulis merasa prihatin ketika menemukan fakta adanya indikasi dugaan korupsi, seharusnya ditindak secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga tidak ada panggung untuk para penjilat dan pemimpin ngerapek lainnya muncul dikemudian hari. Dengan demikian, dapat ditimbulkan efek pencegahan dan penjeraan bagi pemimpin ngerapek.
Di masa depan, semoga korupsi di Indonesia tercinta ini sirna, khususnya di tanah kelahiran penulis yaitu Provinsi Bangka Belitung. **