• Jadi Kritis itu Butuh Independensi, tidak bisa Dibayar apalagi Dipelihara

    Opini
    Oleh: Mervinas
    Wartawan Seumur Jagung

    Head-linenews.com – Lucu…. itu kesan pertama yang saya dapat ketika membaca sebuah tulisan opini yang menguraian tentang definisi wartawan kritis, atau terindikasi tendensius.

    Saya kira, tak perlu panjang lebar juga saya menanggapi tulisan tersebut, tak perlu juga saya respon secara teori, karena saya mengetahui persis kondisi di belakang layar.

    Kritis bisa berupa sikap, bisa juga berupa anggapan. Dalam pers, kritis itu sebenarnya adalah anggapan yang disematkan, mana kala berita yang ditulis adalah hal-hal vokal dari sumber yang kompeten. Sumber yang bicaranya lebih banyak mengkritisi kebijakan atau mengupas sisi minor seseorang tokoh publik.

    Kritis atau tidak seorang wartawan, atau media itu justru tergantung dari pilihan apa yang akan dijadikan kontennya. Contoh, jika seorang wartawan atau media, mengangkat berita yang isinya hanya puja puji terhadap seorang calon kepala daerah. Beritanya hanya berisi bualan program dari sang calon, bahkan sang calon pergi ke KPU naik vespa, akan dibuat berita untuk mengungkapkan kesederhanaan dang calon. Padahal Vespa tersebut adalah yang paling mahal dan terbaru.

    Contoh lainnya, dalam sebuah situasi acara kampanye, kemudian di dalamnya banyak ASN, yang tidak selayaknya ikut aksi dukung-mendukung calon. Bahkan secara diam-diam menjadi timses. Seorang wartawan yang kritis, akan menulis soal pelanggaran oleh ASN tersebut. Sebagai fungsi kontrol.

    Sementara wartawan yang tidak kritis, akan memilih menulis berita yang memuji habis-habisan sang calon. Padahal jelas-jelas ada kerusakan di depan matanya. Kanapa bisa demikian…??? Salah satunya karena order, bayaran atau memang sudah dipelihara (sementara) karena calon butuh dicitrakan.

    Bayangkan jika isi otak wartawan atau media, hanya seputar puji-pujian terhadap sang calon. Maka, pembaca tidak akan menyebut wartawan tersebut kritis. Namun jika kemudian seorang wartawan atau media mengangkat hal-hal berupa fakta persidangan, fakta aksi unjuk rasa, fakta berupa statemen mantan bawahan yang terzolimi, maka wartawan tersebut akan distempel “kritis.”

    Padahal kritis itu adalah beritanya, dan berita itu berasal dari nara sumber. Apakah itu dianggap tendensius. Bisa saja, karena perspektif setiap orang berbeda terhadap suatu hal, termasuk berita.

    Kalau berfikirnya positif, maka kritis itu akan dianggap kontrol sosial, namun jika persepsinya negatif, maka itu dianggap tendensius hingga sebutan tidak profesional. Jadi itu memang menjadi konsekwensi bagi wartawan, maupun media untuk memilih.

    Yang jelas, ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, bahwa sikap untuk membuat berita yang kritis, itu butuh independensi. Artinya sang wartawan atau media benar-benar berdiri tegak tanpa intervensi.

    Sikap untuk kritis tidak bisa dimiliki oleh wartawan yang otaknya berisi orderan (calon kepala daerah? Misalnya. Wartawan yang bisa dibayar, atau mungkin dipelihara, tidak akan memunculkan sikap kritis.

    Bukankan penuh perjuangan memperoleh independensi pers haribi. Lantas kenapa harus jadi gerombolan media yang dipelihara, dibayar receh, plus janji surga tentunya jika kelak terpilih.

    Jadi tanyakan saja dulu hati nurani masing-masing, apakah kita sudah layak menggurui atau kita justru seperti meludahi langit, karena air liur tersebut berbalik ke muka kita. Karena akibat terjualnya independensi, para aktivis anti korupsi pun bisa jadi pembela koruptor. Begitu pula wartawan, akibat indepensi yang terbeli, kemudian jadi peliharaan maka yang hilang bukan hanya pilihan menjadi kritis, bahkan akal sehat bisa hilang.

    Soal cover both side… Aah… Memangnya anda redaktur atau Pemred saya? Sehingga tanpa menggunakan azas praduga tidak bersalah, menuding bahwa wartawan kritis yang anda maksud tidak melakukan cover both side, klarifikasi dan sebagainya.

    Intinya, sikap kritis, atau berita yang kritis itu dasarnya adalah tegak di atas independensi, tidak dibayar, apalagi dipelihara.(**)

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *